topmetro.news – Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon yakin, hanya akan ada dua poros pilpres antara Koalisi Jokowi dan Koalisi Prabowo.
Dia juga menyebutkan, pihaknya intensif melakukan komunikasi dengan PKS dan PAN untuk membentuk koalisi pada Pemilu 2019. Koalisi tersebut diyakininya akan bertambah dengan merapatnya Demokrat dan PKB.
Bahkan, pihaknya akan mengatur pertemuan antara Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pertemuan itu merupakan tindak lanjut pertemuan Ketua Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Agus Harimurti Yudhoyono dengan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Sandiaga Uno, akhir pekan lalu.
“Sekarang tahapnya masih membuka dialog. Dan kami juga masih terus berdialog dengan semua partai politik yang belum menyatakan sikap. Yang sudah cukup intensif adalah dengan PAN dan PKS. Berikutnya saya kira dengan Demokrat dan juga PKB,” ujar Fadli di Gedung DPR RI, Selasa (22/5/2018).
Ketika ditanya kemungkinan dalam pertemuan tersebut Demokrat mengajukan AHY sebagai calon wakil presiden (cawapres) Prabowo, Fadli mengaku belum mengetahuinya.
“Yang paling penting itu penjajakan dahulu. Ngobrol-ngobrol dulu. Kalau dengan PKS dan PAN, saya kira Insya Allah semakin solid,” katanya.
Hanya Dua Poros
Pada kesempatan itu, Fadli juga menyampaikan keyakinannya bahwa pada Pilpres 2019 hanya ada dua poros yang bertarung. Yakni Koalisi Jokowi dan Koalisi Prabowo.
Sementara menurut Adian Napitupulu, Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 diprediksi akan menjadi pertarungan ulang antara kubu yang proreformasi dengan kubu antireformasi. Kubu antireformasi, kata dia dimotori oleh tokoh-tokoh lama Orde Baru (Orba).
“Menurut saya, Pemilu 2019 adalah perang yang kedua kalinya antara mereka yang proreformasi dan mereka yang pro-Orde Baru,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pena 98 Adian Napitupulu dalam penutupan “Dialog Publik dan Pameran Foto Aksi Mahasiswa 1998, Refleksi 20 Tahun Reformasi” di Jakarta, Senin (21/5/2018).
Reformis dan Pura-pura
Menurut Adian, Pilpres 2019 juga merupakan saat di mana masyarakat bisa melihat siapa saja tokoh yang sebenarnya mendukung reformasi dan siapa saja tokoh yang berpura-pura reformis setelah rezim otoriter Orba berakhir pada Mei 1998.
“Dari mana kita melihat kesunggungan mereka yang mengklaim reformis akan dilihat dari pilihan-pilihan politik pada 2019. Siapa yang reformis dan siapa yang mendukung kelompok anti-Reformasi akan terlihat nanti,” ujarnya.
Menurut Adian, bagi rakyat dan aktivis pergerakan serta elemen lainnya, 2019 merupakan momentum terakhir bagi kelompok-kelompok anti-Reformasi untuk mengikuti pemilihan umum dan bisa kembali berkuasa seperti di masa lalu.
Dirinya meyakini bahwa seluruh elemen rakyat yang pro-Reformasi dan demokrasi tentunya akan menolak kembalinya rezim otoriter ke tampuk kekuasaan. Apalagi, pada masa itu hampir seluruh sendi kehidupan berdemokrasi dibungkam. (TM-RED)
sumber: beritasatu.com